Kamis, 25 Februari 2010

Kisah Tentang Kendi Jatakamala (Minuman Keras)

Minum minuman keras adalah sumber berbagai penyakit. Memahami akan hal ini, orang yang baik berusaha mempengaruhi orang lain agar meninggalkan minuman keras, meskipun dalam melakukannya ia menodai dirinya sendiri.

Suatu ketika Bodhisattva lahir sebagai Sakra, Raja Para Dewa. Belas kasih telah memurnikan hatinya, setiap perbuatannya senantiasa ditujukan demi meningkatkan kebahagiaan serta kebajikan makhluk lain, melalui perbuatan dana, sila dan caga [kemurahan hati]. Meskipun ia sangat menikmati segala kesenangan duniawi yang dimiliki oleh para dewa, tak sesaat pun Ia mengendurkan usahanya bagi kebajikan dunia.

Sebagaimana para pemimpin, yang sangat mabuk oleh arak keras keagungan hingga kehilangan kewaspadaan serta lupa bahkan terhadap kepentingannya sendiri, mereka sudah seperti orang yang sudah gila. Sakra, sebaliknya, tak membiarkan kemabukan pada kekuasaan mempengaruhi batinnya. Bahkan, ketertarikannya pada kebajikan bagi semua makhluk terus berkembang, menyadari kecenderungan dirinya sendiri dengan baik, ia sama sekali tak mengabaikan kepentingan orang lain. Belas kasihnya kepada semua makhluk sedemikian besar hingga ia bahkan memperhatikan makhluk hidup sekecil apa pun yang sangat menderita.

Pada suatu hari, sebagai seorang Mahasattva yang mengarahkan pandangannya terhadap umat manusia, pandangannya yang tajam serta kuat sebagaimana sifatnya, penuh maitri serta karuna, tertuju pada seorang raja bernama Sarvamitra, `Sahabat Bagi Semua'. Raja ini, dikarenakan oleh persahabatannya dengan orang-orang yang tidak baik, terikat sangat kuat terhadap arak yang keras, dengan mana ia bergaul, baik dengan berbagai macam rakyatnya maupun para punggawanya. Melihat bahwa raja tersebut tidak memperlihatkan perasaan bersalah dari meminum minuman keras, Mahasattva merenung dengan hati belas kasihnya:

"Kemalangan besar apakah yang akan menimpa orang ini? Aduh! Menyenangkan pada mulanya, minuman keras membawa pada kegelapan serta kehancuran yang berat. Yang demikian ini merupakan jalan persimpangan, yang tampak menarik akan tetapi menjauhkan dari pencerahan; mereka yang menuruti daya tarik arak, tak akan menyadari kejahatan yang dipeluknya. Tetapi apa yang harus kulakukan?"

Setelah merenung dengan seksama, Sakra segera melihat apa yang harus dilakukannya. "Apakah sebabnya, jelaslah kiranya. Sudah menjadi sifat manusia, meniru orang yang terpandang di antara mereka. Raja, karenanya, menjadi orang yang harus disadarkan, mengingat bahwa karena dirinyalah segala kebajikan serta kejahatan rakyatnya akan mengikuti."

Untuk itu Mahasattva lalu bersalin rupa menjadi seorang brahmana mulia. Bersinar bagaikan emas murni, ia tak pernah terpengaruh oleh hal-hal yang rendah; rambutnya kusam serta gimbal, tubuhnya tertutup oleh jubah pertapa dari kulit kayu yang keras serta kulit rusa.

Ketika Raja Sarvamitra sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, membicarakan tentang mutu arak yang begini dan begitu, Sakra muncul di hadapan mereka, berdiri di angkasa, sebuah kendi berukuran sedang tergantung di pinggang kirinya. Membuat terkejut serta takjub yang sedang berkumpul, lalu mereka bangkit dari duduknya, menangkupkan kedua telapak tangannya penuh hormat.

Dengan suara yang menggetarkan bagaikan petir awan hujan Sakra bernyanyi:

"Lihatlah kendi ini yang terisi penuh hingga lehernya, bunga mekar tersenyum melingkari lehernya! Ukiran tangan dengan hiasan yang kemilau, Siapa yang mau membeli mustika menggiurkan ini?

Kendi bagus ini, dihiasi dengan bunga indah, betapa bangganya dia memakai dedaunannya yang bagus sekali. Mari, siapa di antara kalian yang ingin membelinya?"

Takjub pada pemunculan yang demikian, raja menatap brahmana dengan rasa hormat. Mengangkat tangan anjalinya, ia menjawab: "Engkau muncul seterang matahari, seagung bulan, seperti seorang Mahamuni. Siapakah panggilan namamu di dunia ini? Engkau muncul dengan cara yang begitu berbeda hingga membuat kami keheranan."

Sakra menjawab: "Beli saja kendi ini. Setelah itu Engkau akan tahu siapa aku. Belilah, jika kalian tidak merasa takut menderita dalam hidup yang akan datang, atau bencana akan terus datang sekarang."

Raja menjawab: "Aku tak pernah mendengar apa pun yang dijual dengan cara seperti ini sebelumnya. Pedagang biasanya memuji keunggulan barangnya, semua akan menyembunyikan kekurangannya. Caramu telah menunjukkan siapa dirimu, karena makhluk-makhluk suci membenci kesalahan. Mereka mengucapkan kebajikan tanpa meninggalkan kebenaran, bahkan meski dalam kesulitan.

Katakan kepadaku, Manusia Utama, apa sebenarnya yang ada di dalam kendimu? Dan apa yang sebenarnya diinginkan orang mulia sepertimu sebagai imbalannya?"

Sakra menjawab: "Dengarlah baik-baik, Raja Agung. Kendi ini tidak berisi air, bukan air yang keluar dari awan, bukan air yang mengalir dari mata air suci. Ia tidak beraroma madu yang dikumpulkan dari sari bunga; bukan pula sari mentega; bahkan juga bukan susu yang berwarna bagai bulan yang membuat mekar bunga kumuda di malam hari yang tiada mendung. Bukan, kendi ini penuh dengan kejahatan yang sesungguhnya hingga lehernya.

Dan kini jika Engkau mengijinkan, aku akan menyebutkan kebajikan dari minuman ini:

"Jika Engkau minum dari kendi ini seluruh pengendalian diri akan meninggalkanmu. Ingatan akan melupakanmu, Engkau akan tersandung bahkan di atas tanah lunak. Bingung serta tumpul, Engkau tak akan memedulikan Apakah yang kaumakan patut dimakan atau tidak. Demikianlah air yang terkandung di dalam kendi ini. Silahkan beli kendi yang tanpa cela ini!

Menyebabkan hilangnya panca indera, dan berbuat tanpa menyadarinya! Menjadikan bagai binatang, berbicara tanpa berpikir, Sementara musuh-musuhmu tertawa seolah Engkau sedang menari-nari di antara mereka, Menari mengikuti pukulan gendang kata-katamu sendiri yang tanpa disadari. Silahkan beli kendi ini! Ia kosong dari segala kebajikan!

Ketika mereka minum dari kendi ini, Bahkan yang pemalu kehilangan kepantasan – Melepaskan pakaiannya berjingkrak di jalanan. Demikianlah cairan yang terdapat di dalam kendi ini, Dan kini ia ditawarkan kepadamu! Minum dan tergeletak tanpa sadar, berlepotan dengan muntahan, Anjing semaunya menjilati mukamu. Betapa senangnya membeli yang ada dalam kendi ini!

Minum dan minumlah dengan rakus yang ada di dalam kendi ini! Pukul orang tuamu hingga mati dan bunuh Dewa Kekayaan! Tumpahkan hidupmu hingga kering, minumlah pikiranmu hingga habis! Seperti Andhaka dan Vrishnaya bersaudara, Yang satu sama lain saling memukul. Begitulah kegilaan yang dapat ditemukan dalam kendi ini.

Jika Engkau menginginkan apa yang ada dalam kendi ini, Engkau akan kehilangan kedudukanmu –kemuliaanmu akan lenyap, Engkau akan kehilangan nama baikmu. Harta serta rumahmu habis, keluargamu hancur – Yang di dalam kendi ini batal dijual! Tangis dan tawa dengan demikian terhindarkan mata sayu serta kebodohan yang seperti orang kerasukan yaksa, Menghindarkan menjadi objek cemoohan Pikiran kotormu terdapat dalam bejana ini!

Minum menyebabkan perasaan menyesal di hari tua; ia melemahkan keinginan untuk melakukan apa yang baik bagi diri sendiri. Pikiran jernih terabaikan, perbuatan tergesa-gesa lalu timbul. Di sini, di dalam kendi inilah kesemua itu, bahkan masih banyak lagi!

Disebabkan oleh cairan ini dewa tua menjadi tak terkendali, dan dilucuti dari keagungannya oleh raja para dewa, basah kuyup di dalam samudra sambil mencari pertolongan. Seperti itulah malapetaka yang ditimbulkan oleh kendi ini!

Berkata tidak benar seolah-olah benar, karenanya kehilangan perasaannya terhadap benar dan salah Engkau akan melakukan perbuatan yang tak seharusnya dilakukan. Di sinilah di dalam kendi ini kutukan berwujud! Ibu dari kedosaan, kebodohan serta kepedihan, Sumber segala kejahatan, jalan menuju segala kegilaan, Di sinilah di dalam kendi ini kegelapan batin yang menakutkan!

Aku memberi penawaran ini pada Raja Agung untuk membelinya! Biarlah ia kehilangan indriawinya dan membunuh para pertapa Tanpa memikirkan selanjutnya, Dan juga membunuh orang tuanya sendiri!

Wahai Pemimpin Manusia, yang dipandang sebagai dewa di dunia ini, begitulah cairan ini. Biarlah siapa pun tak bersahabat dengan kebajikan dengan membelinya di sini.

Barang siapa bergantung pada barang ini akan terbiasa dengan perbuatan salah. Tak diragukan lagi ia akan jatuh ke dalam neraka, atau dalam kelahiran sebagai binatang ataupun peta. Lalu siapakah yang bahkan mau melihat kendi ini?

Bahkan sekedar meminumnya sedikit berpengaruh pada kehidupan ini, dengan pelan menghancurkan sifat baik serta nalarnya, mengarahkan orang menuju pada kebinatangan, danawa, bahkan hingga ke pintu neraka untuk terbakar dalam api yang berkobar-kobar.

Singkatnya, minum arak mematikan sifat baik, membunuh nama baik, menghancurkan rasa malu dan mengotori pikiran. Wahai Baginda, mengetahui semua ini, bagaimana bisa engkau membiarkan dirimu menjadi peminum?"

Kata-kata yang sedemikian berikut alasan-alasannya menyadarkan raja dari sifat arak yang menghancurkan. Melenyapkan seluruh keinginan untuk minum, raja lalu berkata kepada Sakra:

"Engkau telah mempengaruhiku seolah seperti kasih sayang seorang ayah yang mempengaruhi putranya, atau seperti seorang guru yang tergerak hatinya oleh bakti siswanya. Engkau mengajar seolah seperti seorang Muni yang memahami cara yang tepat. Kebajikanmu telah memberi kami kebajikan besar; mohon terimalah sesuatu dari kami sebagai balasan.

Aku akan memberimu lima desa, seratus orang budak, lima ratus ekor sapi, juga sepuluh kereta yang ditarik oleh kuda-kuda terbaik: Kesemuanya demikian pula yang lain, yang mungkin kau inginkan, mengingat bahwa Engkau telah menjadi guru bagiku. Apa pun lainnya yang kauinginkan karenanya, Oh Yang Mulia, mohon terimalah sebagai persembahanku."

Sakra menjawab: "Aku tak menginginkan desa, aku juga tak membutuhkan budak-budak. Ketahuilah, Wahai Raja, diriku adalah Raja Para Dewa. Dan ketahuilah juga bahwa, orang yang membicarakan kebajikan tak menginginkan apa pun kecuali ajarannya diterima dan dilaksanakan, dengan cara demikian akan membawa keagungan serta kemuliaan, setelah kematiannya ia akan pergi ke alam bahagia. Untuk itu, buanglah kebiasaanmu minummu. Berpeganglah teguh pada perbuatan benar, Engkau kelak akan dapat berbagi surga denganku."

Setelah memenuhi kehendaknya, Sakra menghilang seketika. Sang raja bersama orang-orangnya, kemudian menjauhi minuman keras untuk selama-lamanya.

Dari kisah ini orang dapat melihat betapa besarnya penderitaan yang diakibatkan minuman keras, dan bagaimana orang baik akan berusaha mengubah orang lain dari keburukannya, tak perlu dikatakan lagi demikian pula terhadap dirinya sendiri. Kisah ini juga sesuai pada saat memuji keagungan Tathagata, dan juga pada saat menunjukkan bagaimana Sang Bhagavan membawa kebajikan bagi makhluk hidup dalam kehidupannya yang lampau.

Sumber: http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-61168.html

HIKAYAT SANG PENA

Seorang fakir yang sedang dalam perjalanan mencari penerangan melihat secarik kertas dengan coretan-coretan di atasnya.

"Mengapa," tanya sang fakir, "kau menghitami wajahmu yang putih-bersih?"

"Tidak adil kau menuduhku melakukannya," jawab sang kertas.
"Bukan aku yang melakukannya."
"Tanyakanlah kepada sang tinta mengapa dia keluar dari wadahnya, padahal dia cukup tenang berada di dalamnya, dan mengapa dia menghitami wajahku."


"Kau benar," kata sang fakir.
Lalu dia berpaling kepada sang tinta dan bertanya kepadanya.


"Mengapa kau bertanya kepadaku?" jawabnya,
"Aku sedang duduk tenang di dalam wadah tinta dan tidak berpikir untuk keluar, tetapi mata pena yang tajam itu menyorengku, lalu mendorongku keluar dan menaburkanku di atas permukaan sang kertas. Di sana kau dapat melihatku terbaring tak berdaya. Pergilah ke sang pena dan tanyakan kepadanya."


Sang fakir berpaling kepada sang pena dan bertanya mengapa dia bersikap sewenang-wenang.

"Mengapa kau menggangguku?" jawab sang pena.
"Lihat, siapa aku ini? Tak lebih dari sebatang buluh yang tiada berarti. Aku waktu itu sedang tumbuh di tepian sungai bening keperak perakan, di tengah-tengah pepohonan hijau nan rindang, ketika, kau tahu, sebuah tangan merentang ke arahku. Sang tangan memegang sebuah pisau. Sang pisau mencabut akar-akarku, menguliti seluruh batang tubuhku, memisah-misahkan seluruh persendianku, menumbangkanku, membelah kepalaku, lalu memenggalnya. Aku segera dikirim ke sang tinta, dan harus mengabdi sebagai pelayan hina-dina. Janganlah kau menambah parah luka-lukaku. Pergilah ke sang tangan dan bertanyalah kepadanya."


Sang fakir memandang sang tangan, lalu bertanya: "Benarkah itu? Apakah kau demikian kejamnya?"

"Jangan marah dulu, Tuan," jawab sang tangan.
"Aku hanyalah segumpal daging, tulang, dan darah. Pernahkah Tuan melihat sekerat daging memiliki kekuatan? Dapatkah sebentuk tubuh bergerak dengan sendirinya? Aku hanyalah alat yang digunakan oleh sesuatu yang disebut vitalitas. Dia menunggangiku dan memaksaku berputar-putar. Tuan tahu, orang mati mempunyai tangan tetapi tidak dapat menggunakannya karena vitalitas telah meninggalkannya. Mengapa aku, sebuah alat, mesti dipersalahkan? Pergilah Tuan ke sang vitalitas. Tanyakanlah kepadanya mengapa dia menggunakanku."


"Kau benar," kata sang fakir, kemudian bertanya kepada sang vitalitas.

"Acap kali pengecam sendiri mendapat kecaman, sementara yang dikecam terbukti tak bersalah. Bagaimana kau tahu bahwa aku telah memaksa sang tangan? Aku sudah berada di sana sebelum dia bergerak, dan tidak pernah berpikir untuk menggerakkannya. Aku tidak sadar dan pemirsa pun tidak sadar akan diriku. Tiba-tiba suatu agen datang kepadaku dan menggerakkanku. Aku tak punya cukup kekuatan untuk melanggarnya ataupun kemauan untuk mematuhinya. Mengenai perkara yang membuatmu menegurku, aku melakukannya sesuai dengan keinginannya. Aku tak tahu siapa agen itu. Dia disebut sang kemauan dan aku hanya mengenal namanya. Seandainya hal itu diserahkan kepadaku, kupikir aku tidak akan melakukan apa-apa."

"Baiklah," lanjut sang fakir, "aku akan mengajukan pertanyaan kepada sang kemauan, dan bertanya kepadanya mengapa dia telah mempekerjakan secara paksa sang vitalitas yang menurut keinginannya sendiri tidak akan melakukan sesuatu."

"Jangan dulu terlalu terburu-buru," pekik sang kemauan. "Sedapat mungkin aku akan mengajukan alasan yang cukup memadai. Yang Mulia Pangeran, sang pikiran, mengutus seorang duta besarnya yang bernama pengetahuan, yang menyampaikan pesannya kepadaku melalui nalar, berbunyi: 'Bangkitlah, gerakkanlah vitalitas.' Aku terpaksa melakukannya, karena aku harus patuh kepada sang pengetahuan dan sang nalar, tetapi aku tak tahu apa alasannya. Selama tidak menerima perintah aku bahagia, tetapi begitu ada perintah aku tak berani melanggar¬nya. Apakah sang raja seorang penguasa yang adil ataukah zalim, aku harus patuh kepadanya. Aku telah bersumpah, selama sang raja ragu-ragu atau masih merenungkan suatu masalah, maka aku hanya diam saja, siap melayani; pegitu perintah sang raja disampaikan kepadaku, maka rasa patuh yang memang sudah menjadi pembawaanku akan segera memaksaku untuk menggerakkan sang vitalitas. Maka janganlah Tuan mengecamku. Sebaiknya pergilah Tuan menghadap sang pengetahuan dan mendapatkan keterangan di sana."

"Anda benar," setuju sang fakir, lalu dia meneruskan perjalanan, menghadap kepada sang pikiran dan para duta besarnya, yaitu pengetahuan dan nalar, untuk meminta penjelasan.

Sang nalar memohon maaf dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah lampu, dan dia tidak mengetahui siapa yang menyalakannya. Sang pikiran mengaku tidak bersalah dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah tabula rasa. Sedangkan sang pengetahuan bersikeras menyebut dirinya hanyalah sebuah prasasti, yang baru bisa digoreskan setelah lampu sang nalar menyala. Maka dia tidak dapat dianggap sebagai penulis prasasti tersebut, yang kemungkinan merupakan hasil goresan sebuah pena tertentu yang tidak terlihat.

Sang fakir kemudian menjadi bingung, tetapi setelah berhasil menguasai diri lagi, dia berkata kepada sang pengetahuan: "Aku sedang melakukan perjalanan mencari penerangan.
Kepada siapa pun aku menghadap dan menanyakan alasan, aku selalu disuruh menghadap yang lainnya.

Meskipun demikian, aku merasa senang dalam pengejaranku ini, karena semuanya memberikan alasan yang masuk akal. Tetapi, Tuan Pengetahuan, maafkanlah aku kalau kukatakan bahwa jawaban Tuan tidak memuaskanku. Tuan mengatakan bahwa Tuan hanyalah sebuah prasasti yang digoreskan oleh sang pena. Aku telah berjumpa dengan sang pena, sang tinta, dan sang kertas. Mereka masing-masing terbuat dari buluh, campuran warna hitam, dan kayu serta besi. Dan aku pun telah melihat lampu-lampu yang dinyalakan oleh sang api. Tetapi di sini aku tidak melihat satu pun dari mereka itu, walaupun Tuan berbicara tentang kertas, lampu, pena, dan prasasti. Tentunya Tuan tidak sedang bermain-main denganku, bukan?"


"Tentu, tidak," timpal sang pengetahuan. "Aku berbicara dengan sebenar-benarnya. Tetapi aku dapat memahami kesulitanmu. Bekal yang kau bawa hanya sedikit, kuda yang kau tunggangi sudah letih, dan perjalanan yang kau tempuh cukup jauh dan berbahaya. Hentikanlah perjalananmu ini, karena aku khawatir kau tidak akan dapat berhasil. Tetapi, bagaimanapun, jika kau sudah "siap menanggung risiko”, maka dengarkanlah.

Perjalananmu mencakup tiga wilayah. Pertama, alam dunia. Benda-benda di dalamnya adalah pena, tinta, kertas, tangan dan sebagainya, seperti yang telah kau lihat tadi. Yang kedua adalah alam langit, yang akan mulai kau masuki bila kau telah meninggalkanku. Di sana kau akan menjumpai puncak-puncak awan yang padat, sungai-sungai yang luas dan dalam, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi tak terdaki, yang aku tak tahu bagaimana kau akan mampu mendakinya. Di antara kedua alam ini terdapat alam ketiga sebagai wilayah perantara, yang disebut alam gejala. Kau telah melampaui tiga lapis di antaranya, yaitu vitalitas, kemauan, dan pengetahuan. Dengan tamsil dapat dikatakan: (a)_orang yang sedang berjalan, ia masih berada di alam dunia: (b)_jika ia sedang berlayar pada sebuah kapal maka ia mulai memasuki alam gejala: (c)_jika ia meninggalkan kapal tersebut lalu berenang dan berjalan di atas air, maka ia telah dianggap berada di alam langit. Jika kau belum tahu bagaimana caranya berenang, maka kembalilah. Sebab daerah perairan dari alam langit itu bermula dari saat kau muiai dapat melihat pena yang menulis pada lembaran hati. Jika kau bukan orang yang diseru: Wahai iman yang kecil, mengapa kau ragu-ragu? 6) maka bersiap-siaplah. Sebab dengan iman kau tidak hanya akan berjalan di atas lautan tetapi kau akan terbang di angkasa."

Sang fakir kelana kemudian terdiam sejenak, lalu memandang sang pengetahuan dan mulai berkata: "Aku sedang mengalami kesulitan. Bahaya-bahaya yang menghadang pada jalan yang telah Tuan gambarkan itu membuat hatiku kecut, dan aku tak tahu apakah aku cukup kuat menghadapinya dan berhasil pada akhirnya."

"Ada ujian untuk mengetahui kekuatanmu," kata sang pengetahuan. "Bukalah matamu dan pusatkan pandanganmu padaku. Jika kau dapat melihat pena yang menulis pada sang hati, kukira kau akan mampu melangkah lebih jauh lagi. Sebab orang yang mampu menyeberangi alam gejala, lalu ia mengetuk pintu alam langit, maka ia akan dapat melihat pena yang me¬nulis pada hati."

Sang fakir mengikuti nasihat tersebut, tetapi ia tidak dapat melihat pena itu, karena pandangannya tentang pena adalah tidak lain dari pena yang terbuat dari buluh atau kayu. Lalu sang pengetahuan memperhatikan dirinya sambil berkata: "Di sanalah kesulitannya. Tidakkah kau tahu bahwa perabot rumah tangga sebuah istana. menunjukkan kedudukan pemiliknya? Tiada satu pun di alam semesta ini menyerupai Allah,7) oleh karenanya sifat-sifat-Nya pun transendental. Dia tidak berbentuk dan tidak pula menempati ruangan. Tangan-Nya bukanlah segumpal daging, tulang dan darah. Maka pena-Nya pun tidaklah terbuat dari buluh ataupun kayu. Tulisan-Nya bukan lah dari tinta yang keluar dari benda tajam dan runcing. Namun banyak orang dengan bodohnya tetap berpegang pada pandangan yang menyamakan Dia dengan manusia. Hanya sedikit yang menghargai konsepsi yang secara transendental murni tentang Dia, dan percaya bahwa Dia tidak hanya berada di atas segala batas kebendaan tetapi bahkan berada di atas segala batas perumpamaan.
Tampaknya kau masih terombang-ambing di antara dua pandangan, karena di satu pihak kau beranggapan bahwa Allah itu tidak bersifat kebendaan, bahwa kata-kata-Nya tidak bersuara dan tidak berbentuk; di lain pihak kau tak dapat meningkat pada konsepsi transendental tentang tangan, pena dan kertas-Nya. Apakah kau kira makna dari Hadis, 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai Citra-Nya' itu terbatas pada wajah manusia yang tampak saja? Tentu tidak; sifat batin yang dapat dilihat dari pandangan batin sajalah sesungguhnya yang dapat disebut citra Allah. 8) Namun demikian, dengarkanlah: Engkau kini berada pada gunung yang suci, tempat suara gaib dari hutan yang terbakar berkata: 'Aku adalah Aku; 9) sesunqguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu : 10)


Sang fakir, yang sedang mendengarkan dengan terkagum-kagum itu, tiba-tiba melihat seolah-olah ada seberkas sinar, kemudian tampaklah pena yang bekerja menuliskan pada hati, tiada berbentuk. "Beribu-ribu terima kasih kuucapkan kepadamu, wahai Pengetahuan, yang telah menyelamatkanku dari kejatuhan ke dalam jurang kemusyrikan. Terima kasih kuucap kan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku telah menunda-nunda waktu, maka kini kuucapkan selamat tinggal!"
Kemudian sang fakir melanjutkan kembali perjalanannya. Berhenti sejenak ketika melihat kehadiran sang pena yang tak tampak itu. Dengan sopan ia bertanya seperti dahulu: "Kau sudah tahu jawabanku," jawab sang pena yang misterius itu. "Kau tentunya tidak dapat melupakan jawaban yang diberikan kepadamu oleh sang pena di alam bumi sana."


"Ya, aku masih ingat," jawab sang fakir, "tetapi bagaimana mungkin jawabannya bisa sama, karena tidak ada kemiripan antara kamu dengan sang pena yang di sana itu."

"Kalau demikian, tampaknya kau telah melupakan hadits: 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai citra-Nya'.
"Tidak, Tuan," sela sang fakir, "Aku telah menghapalkannya."
"Dan kau pun telah melupakan ayat suci Al-Quran: 'Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya : 11)
"Tentu, tidak," seru sang fakir, "Aku dapat mengulang-¬ulang seluruh isi Al-Quran di luar kepala."

"Ya, aku tahu, dan karena kini kau sudah memasuki pelataran suci dari alam langit, maka aku pikir aku dapat dengan aman mengatakan bahwa sesungguhnya kau telah mempelajari makna ayat-ayat tersebut dari sudut pandang yang negatif. Namun sebenarnya ayat-ayat tersebut memiliki nilai positif juga, dan harus digunakan sebagai sesuatu yang membangun pada peringkat ini.12)

Lanjutkanlah terus perialananmu dan kau akan memahami apa yang kumaksudkan."

Sang fakir memandangi dirinya dan menemukan dirinya itu memantulkan sifat Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera ia menyadari adanya kekuatan yang tersimpan di balik pernyataan sang pena yang misterius itu, tetapi dengan dorongan sifat ingin tahunya ia hampir saja mengajukan pertanyaan tentang Yang Maha Suci, ketika suatu suara bagaikan halilintar yang memekakkan telinga terdengar dari atas, berkumandang: "Ia tidak ditanya tentang perbuatannya, tetapi perbuatannya itulah yang akan ditanya." Dengan diliputi keterkejutan, sang fakir menundukkan kepalanya penuh khidmat tanpa sepatah kata pun.

Tangan Allah Yang Maha Pengasih merentang ke arah sang fakir yang tiada berdaya itu; ke dalam telinganya dibisikkanlah nada-nada suara merdu merayu: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan menuju Kami. " (QS 29:69)

Setelah membuka kedua matanya, sang fakir mengangkat kepalanya dan menghadapkan hatinya dengan penuh khusyuk dalam doa: "Mahasuci Engkau, wahai Allah Yang Maha Kuasa: segala puji bagi nama-Mu, wahai Tuhan seru sekalian alam! Mulai saat ini aku tak akan lagi takut pada segala makhluk, kuserahkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, ampunan-Mu adalah pelipur laraku, rahmat-Mu adalah tempatku berlindung."

(Mudah-mudahan, dengan mengingat keesaan Allah, masalah tersebut akan menjadi jelas).


CATATAN :
6) St. Matthew, XIV 53-31: "Dan peda perempat malam ia menghampiri mereka, berjalan di atas laut. Dan ketika murid-muridnya melihat la berjatan di laut, mereka menjadi gempar dan berkata telah melihat hantu, lalu mereka berteriak ketakutan. Namun sejurus kemudian Yesus berfirman kepada mereka: 'Berbuat baiklah, bergembiralah, inilah Aku, janganlah takut.!”

Kemudian Peter men¬jawab: Tuhan, kalau benar itu Engkau, izinkanlah aku mendekati-Mu di atas air.' Dan Peter turun dari perahu lalu berjalan di atas air untuk menghampiri Yesus. Namun ketika melihat angin ia merasa takut, lalu ketika mulai tenggelam ia berkata: 'Tuhan, tolonglah aku; Dan dengan serta-merta Yesus mengulurkan tangan-Nya, Ialu mengangkat tubuhnya dan berfirman: 'wahai orang yang kurang beriman, mengapa kau ragu-ragu"

7) Cf. AI-Quran, 42: 11: 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

8) Cf. Genesis, I. 27.
9) Exodus, III, 14.

10) AI-Quran 20: 12. Pada umumnya ditafsirkan bahwa Musa dalam ayat ini diperintahkan meninggalkan "kedua terompahnya" untuk menghormati 'tempat suci, Thuwa, Namun Razi dalam ulasannya menyebutnya sebagai sebuah ungkapan dan mengatakan bahwa bahasa Arab menggunakan kata Na’al (sepatu) untuk menyebut istri dan keluarga. Perintah untuk menanggalkan sepasang terompah Musa itu oleh karenanya merupakan sebuah ungkapan metaforis agar ia mengosongkan hatinya dari perhatiannya terhadap keluarga? lihat Tafsir-i-Razi, Jilid V1, 19, edisi Istambul.

11) Al-Quran. 39; 67. Ayat lengkapnya berbunyi: "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya: padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat den langit digulung dengan tangan kanan-nya; Maha Suci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."

11) Al-Ghazali telah membicarakan masalah ini secara lengkap dalam bukunya yang berjudul Iljam al-Awam, Dikatakannya bahwa setiap benda mengalami empat tahap keberadaan. Ia menggambarkan sebagai berikut; "Api" adalah yang (1) tertutis pada kertas; (2) diucapkan sebagai api; (3) membakar; dan (4) dicerap oleh akal mudah terbakar. Dua tahap yang pertama pada dasarnya bersifat konvensional tetapi mengandung nilai pendidikan. Demikian pula halnya, pemanusiaan ayat-ayat suci AI-Quran hendaknya ditelaah berdasarkan keempat tahap tersebut di atas.

**Dikutip dari buku : Rahasia-Rahasia Ajaran Tasawuf Al-Ghazali, Oleh Syed Nawab Ali
Penerbit Gema Risalah Press, 110 halaman, pada 12 Maret 1995 harganya Rp1500.-

Rabu, 17 Februari 2010

Sebuah Tengkorak Manusia di dalam Dharmasala

sebuah renungan MENGAPA KITA ADA DI SINI

Posted by: "Hudoyo Hupudio" hudoyo@cbn.net.id hudoyo1
Fri Feb 12, 2010 11:08 pm (PST)
[Tren umat Buddha di Indonesia sekarang ini adalah mendengarkan seminar-seminar dari para motivator tentang bagaimana mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari.
Lain sekali dengan khotbah Ajahn Chah berikut ini. Di Vihara beliau, Wat Pah Pong, di dharmasala ada sebuah kerangka manusia. Banyak pengunjung yg datang ke sana, segera lari kembali keluar begitu melihat tengkorak itu. :)

Bacalah khotbah Ajahn Chah berikut ini, yg disampaikan tidak lama sebelum beliau meninggal dunia.]
MENGAPA KITA ADA DI SINI ?, Living Dhamma ,Why Are We Here ?
Oleh: Ven. Ajahn Chah

Pada Masa Vassa kali ini, saya tidak mempunyai banyak tenaga, saya tidak begitu sehat, jadi saya datang ke pegunungan ini untuk mendapatkan udara segar. Orang-orang datang berkunjung, tetapi saya tidak benar - benar dapat menerima mereka seperti biasanya karena suara saya sudah hampir habis, dan nafas saya sudah hampir tiada. Kalian dapat menganggapnya sebagai sebuah berkah dengan masih adanya tubuh yang sedang duduk di sini untuk kalian lihat sekarang. Ini adalah pemberkahan di dalam dirinya sendiri. Tak lama lagi kalian tidak akan melihatnya lagi. Nafas akan berakhir, suara akan hilang. Sang Buddha menyebutnya khaya-vayam, kemerosotan dan penghancuran semua fenomena yang berkondisi.

Bagaimana caranya mereka mengalami kemerosotan?. Ambil contoh sebongkah es. Pada mulanya ia hanyalah air, mereka membekukannya dan ia menjadi es. Tapi tidak diperlukan waktu yang lama sebelum ia mencair. Ambil sebongkah es yang besar, katakanlah sebesar tape recoder ini, dan biarkanlah ia diterpa sinar matahari. Kalian dapat melihat bagaimana ia berkurang, seperti halnya dengan tubuh kita. Ia akan secara bertahap terurai. Dalam beberapa jam atau menit saja, yang tinggal hanyalah kubangan air. Ini yang disebut khaya-vayam, melapuk dan terurainya semua benda-benda yang berkomposisi. Hal ini telah berlangsung untuk jangka waktu yang lama, dimulai sejak berawalnya waktu. Ketika kita lahir, kita membawa sifat alamiah yang tak terpisahkan ini ke dunia bersama kita, kita tidak dapat menghindarinya. Pada saat lahir, kita membawa usia tua, sakit dan kematian bersama kita.

Jadi, inilah mengapa Sang Buddha menyebutnya khaya-vayam, melapuk dan terurainya semua benda-benda berkomposisi. Kita semua yang duduk di ruangan ini sekarang, para bhikkhu, samanera, umat awam pria dan wanita, tidak terkecuali adalah bongkahan yang akan hancur. Untuk saat ini bongkahannya masih keras, seperti bongkahan es. Ia bermula dari air, menjadi es untuk beberapa saat dan kemudian mencair lagi.
Dapatkah kalian lihat perubahan ini di dalam diri kalian? Lihatlah tubuh ini. Dia menjadi semakin tua setiap hari? rambut menua, kuku menua semuanya menjadi tua!

Kalian tidak seperti ini sebelumnya, bukan ?. Kalian mungkin jauh lebih kecil. Sekarang kalian sudah tumbuh berkembang dan dewasa. Mulai dari sekarang kalian akan merosot, mengikuti jalan alamiah. Tubuh akan melapuk, sama seperti bongkahan es. Tak lama lagi, seperti es, semuanya akan hilang. Semua tubuh terdiri dari empat unsur dari tanah, air, angin dan api. Tubuh adalah tempat pertemuan dari tanah, air, angin dan api, yang kemudian kita sebut sebagai orang. Awalnya sangat sulit untuk menyebutkan panggilan apa yang akan kalian pakai, tetapi kini kita menyebutnya ‘orang’. Kita dibodohi olehnya, menyebutnya seorang pria, wanita, memberinya nama-nama, Tuan, Nyonya, dan seterusnya, supaya kita dapat menandai satu sama lain dengan lebih mudah. Tetapi sebenarnya tidak ada seorang pun di sana. Mereka hanyalah tanah, air, angin, dan api. Ketika mereka datang berkumpul dalam bentuk ini, kita menyebutnya sebagai ‘orang’. Sekarang, janganlah terlalu bersemangat akan hal ini. Jika kalian benar-benar melihat ke dalamnya, tidak ada seorang pun di sana.

Yang bersifat padat di dalam tubuh, daging, kulit, tulang dan seterusnya, disebut unsur tanah. Bagian-bagian tubuh yang bersifat cair adalah unsur air. Bagian tubuh yang hangat adalah unsur api, sedangkan udara yang mengalir dalam tubuh adalah unsur angin.

Di Wat Pah Pong, kita mempunyai sebuah tubuh yang bukan pria maupun wanita. Ia adalah tengkorak yang tergantung di ruangan utama. Dengan melihatnya, kalian tidak memiliki perasaan bahwa ia adalah pria ataupun wanita. Orang-orang saling bertanya apakah itu seorang pria atau wanita dan kemudian satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanyalah melongo satu sama lain. Ia hanyalah sebuah tengkorak, semua kulit dan dagingnya telah hilang.

Kebanyakan orang tidak memperdulikan hal-hal ini. Beberapa orang pergi ke Wat Pah Pong, masuk ke ruangan utama, melihat tengkorak dan mereka langsung berlarian keluar lagi! Mereka tidak tahan melihatnya. Mereka takut, takut kepada tengkorak. Saya menduga orang-orang ini tidak pernah melihat diri mereka sendiri sebelumnya. Takut akan tengkorak, mereka tidak merenungkan nilai yang begitu besar dari sebuah tengkorak. Untuk pergi ke vihara, mereka harus mengendarai mobil atau berjalan kaki. jika mereka tidak mempunyai tulang, akan bagaimana mereka jadinya ?. Dapatkah mereka berjalan seperti itu ?. Tapi mereka mengendarai mobil ke Wat Pah Pong, masuk ke ruang utama, melihat tengkorak dan langsung berlarian keluar lagi! Mereka tidak pernah melihat benda seperti ini sebelumnya. Mereka dilahirkan dengan tengkorak, namun mereka tidak pernah melihatnya. Sangatlah beruntung jika mereka mempunyai kesempatan untuk melihatnya sekarang. Bahkan orang-orang tua ketika melihat tengkorak, menjadi takut?. Ada gerangan apa ini semua?. Ini menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak dekat dengan diri mereka sendiri, mereka tidak benar-benar mengenali diri mereka sendiri. Mungkin mereka pulang ke rumah dan tetap tidak bisa tidur selama tiga atau empat hari, namun sebenarnya mereka sendiri tidur dengan tengkorak! Mereka berpakaian dengannya, makan dengannya, melakukan semuanya dengannya, namun mereka takut kepadanya.

Ini menunjukkan sudah sebegitu jauh orang-orang dari diri mereka sendiri. Begitu memprihatinkan! Mereka selalu melihat ke luar, pada pohon-pohon, pada orang-orang lain, pada objek-objek eksternal, mengatakan yang satu ini besar?, ?yang itu kecil?, ?yang itu pendek?, ?yang itu panjang?. Mereka begitu sibuk memperhatikan benda-benda yang tidak pernah mereka lihat sendiri sebelumnya. Secara jujur, orang-orang sungguh memprihatinkan. Mereka tidak mempunyai tempat berlindung.

Pada upacara pentahbisan, yang ditahbiskan harus mempelajari lima objek dasar meditasi: ?kesa?, rambut kepala; ?loma?, bulu roma tubuh; ?nakha?, kuku; ?danta?, gigi; ?taco?, kulit. Beberapa orang mahasiswa dan kaum terpelajar tertawa cekikikan ketika mendengar bagian dari upacara pentahbisan ini? ?Apa sih yang coba diajarkan oleh Ajahn kepada kita di sini? Mengajarkan kita tentang rambut ketika kita sudah memilikinya bertahun-tahun. Dia tidak perlu mengajari kita tentang ini, kita sudah mengetahuinya. Kenapa harus repot-repot mengajari kita sesuatu yang sudah kita ketahui??. Orang-orang yang bodoh adalah seperti ini, mereka mengira mereka sudah dapat melihat rambut mereka.
Saya mengatakan kepada mereka, ketika saya menyuruh untuk ?melihat rambut?, maksud saya adalah untuk melihatnya sebagaimana adanya. Melihat bulu roma tubuh sebagaimana adanya, memandang kuku, gigi dan
kulit sebagaimana adanya. Itulah yang saya sebut ?melihat? ? bukan melihat dengan cara yang dangkal, tetapi melihat sesuai dengan kebenaran. Kita tidak akan terbenam dalam benda-benda, bila kita dapat melihat benda-benda sebagaimana mereka adanya. Rambut, kuku, gigi dan kulit? Apakah sebenarnya mereka itu? Apakah mereka cantik? Apakah mereka bersih? Apakah mereka memiliki substansi yang nyata? Apakah mereka stabil? Tidak? mereka itu tidak ada apa-apanya. Mereka tidak cantik, tapi kitalah yang membayangkan mereka cantik. Mereka tidak memiliki substansi, tapi kitalah yang membayangkan mereka seolah-olah memiliki substansi.

Rambut, kuku, gigi, kulit? orang benar-benar terpaku pada hal-hal ini. Sang Buddha menetapkan ini sebagai objek dasar untuk meditasi, beliau mengajarkan kita untuk mengetahui hal-hal ini. Mereka itu fana, tidak sempurna dan tidak mempunyai pemilik; mereka bukanlah ?saya? atau ?mereka?. Kita lahir dengan diikuti dan dibohongi oleh hal-hal ini, tapi memang benar mereka itu kotor. Anggaplah kita tidak mandi selama seminggu, sanggupkah kita untuk berdekatan satu sama lain ? Kita akan menjadi sangat bau. Ketika orang berkeringat banyak, misalnya ketika banyak orang bekerja keras bersama-sama, baunya minta ampun. Kita pulang ke rumah dan membasuh diri kita dengan sabun dan air dan baunya hilang seketika, wangi dari sabun menggantikannya. Menggosokkan sabun ke tubuh bisa saja membuatnya seolah-olah wangi, tapi sebenarnya bau busuk dari tubuh itu tetap di sana, hanya untuk sementara saja ditutupi. Ketika wangi sabun hilang, bau badan akan kembali lagi.

Sekarang, kita cenderung berpikir bahwa tubuh kita ini indah, penuh kenikmatan, tahan lama dan kuat. Kita cenderung berpikir bahwa kita tidak akan pernah tua, sakit atau mati. Kita dirayu dan ditipu oleh tubuh kita, dan kita begitu mengacuhkan tempat perlindungan yang sebenarnya di dalam diri kita sendiri. Tempat berlindung yang sebenarnya adalah batin kita. Batin adalah tempat perlindungan kita yang sejati. Ruangan ini bisa saja cukup besar tetapi ia tidak bisa menjadi tempat perlindungan yang sejati. Burung merpati berlindung di sini, tokek berlindung di sini, kadal pun berlindung di sini?. Kita boleh berpikir bahwa ruangan ini milik kita, tapi sebenarnya bukan. Kita tinggal di sini bersama-sama dengan semua yang lain. Ini hanya tempat perlindungan sementara, tak lama lagi kita harus meninggalkannya. Orang-orang menganggap tempat ini sebagai tempat untuk berlindung.

Jadi, Sang Buddha mengajarkan untuk menemukan tempat perlindungan kalian. Itu artinya untuk menemukan batin kalian yang sebenarnya. Batin ini sangatlah penting. Orang-orang jarang melihat pada hal-hal yang penting, mereka menghabiskan kebanyakan waktu mereka untuk memperhatikan hal-hal yang tidak penting. Sebagai contoh, ketika mereka membersihkan rumah, mereka begitu berkonsentrasi membersihkan rumah, mencuci piring dan seterusnya, tapi mereka gagal memperhatikan batin mereka sendiri. Batin mereka mungkin sudah busuk, mereka mungkin merasa marah, mencuci piring dengan wajah cemberut. Ketika batin mereka tidak begitu bersih, mereka gagal memperhatikannya. Inilah yang saya sebut ?mengambil tempat perlindungan yang sementara?. Mereka memperindah rumah dan tempat tinggal, tapi mereka tidak berpikir untuk memperindah batin mereka. Mereka tidak mengkaji penderitaan. Batin ini adalah sesuatu yang penting. Sang Buddha mengajarkan untuk menemukan tempat perlindungan di dalam batin kalian sendiri: Atta hi attano natho ? ?Jadikanlah dirimu sebagai tempat berlindung bagi dirimu sendiri?. Siapa lagi yang bisa menjadi tempat perlindungan bagi kalian? Tempat perlindungan yang sejati adalah batin, tidak ada yang lain. Kalian bisa saja mencoba untuk bergantung kepada hal-hal lain, tapi mereka semua bukanlah hal yang pasti. Kalian baru dapat benar-benar bergantung pada yang lain, hanya jika kalian sudah menemukan tempat perlindungan di dalam diri kalian sendiri. Kalian harus memiliki tempat perlindungan sendiri terlebih dahulu sebelum kalian dapat bergantung pada yang lainnya, apakah itu seorang guru, keluarga, teman-teman ataupun kerabat.

Jadi, kalian semuanya, baik umat awam maupun yang sudah meninggalkan rumah, yang telah berkunjung hari ini, tolong pertimbangkan ajaran ini. Tanyakanlah diri kalian sendiri, ?Siapakah saya? Mengapa saya ada di sini?? Tanyalah diri kalian sendiri, ?Mengapa saya dilahirkan?? Beberapa orang tidak mengetahuinya. Mereka menginginkan kebahagiaan, tetapi penderitaan tak pernah berhenti. Kaya atau miskin, muda atau tua, mereka sama-sama menderita. Semuanya adalah penderitaan. Dan mengapa? Karena mereka tidak memiliki kebijaksanaan. Yang miskin tidak bahagia karena mereka tak berkecukupan, dan yang kaya tidak bahagia karena terlalu banyak yang harus mereka jaga.

Di masa lalu, sebagai seorang samanera muda, saya memberikan khotbah Dhamma. Saya berbicara tentang kebahagiaan karena memiliki kekayaan dan harta benda, memiliki pembantu-pembantu dan seterusnya. Seratus orang pembantu pria, seratus orang pembantu wanita, seratus ekor gajah, seratus ekor sapi, seratus ekor kerbau? seratus dari semuanya!
Umat awam sungguh mendambakannya. Tetapi bisakah kalian bayangkan untuk menjaga seratus ekor kerbau? Atau seratus ekor sapi, seratus orang pembantu pria dan wanita? dapatkah kalian bayangkan kewajiban untuk menjaga semuanya itu? Apakah itu menyenangkan? Orang-orang tidak mempertimbangkan dari sisi ini. Mereka bernafsu untuk memiliki? memiliki sapi, kerbau, pembantu? ratusan dari mereka. Tetapi saya katakan lima puluh ekor kerbau saja sudah terlalu banyak. Hanya mengikat tali untuk hewan-hewan liar itu saja sudah terlalu banyak! Tetapi orang tidak mempertimbangkan hal ini, mereka hanya memikirkan kenikmatan untuk memiliki. Mereka tak mempertimbangkan kesulitan yang akan timbul.

Jika kita tidak mempunyai kebijaksanaan, semua yang ada di sekeliling kita akan menjadi sumber penderitaan. Jika kita bijaksana, maka hal-hal ini akan menuntun kita untuk bebas dari penderitaan. Mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran? Mata tidak sepenuhnya benda yang baik, kalian tahu. Jika suasana hati kalian sedang tidak bagus, hanya dengan melihat orang lain saja akan membuat kalian marah dan mengakibatkan kalian tidak bisa tidur. Atau kalian bisa jatuh cinta pada orang lain. Cinta itu juga penderitaan, jika kalian tak mendapatkan apa yang kalian inginkan. Cinta dan benci dua-duanya merupakan penderitaan, disebabkan karena adanya nafsu. Keinginan adalah penderitaan, ketidakinginan adalah penderitaan. Keinginan untuk memiliki sesuatu? bahkan jikalau kalian mendapatkannya, tetap merupakan penderitaan karena kalian takut akan kehilangannya. Hanya ada penderitaan. Bagaimana kalian akan hidup dengan semua itu? Kalian mungkin memiliki rumah yang besar dan mewah, tapi batin kalian tidak bagus, ia tidak pernah benar-benar bekerja seperti yang kalian harapkan.

Oleh sebab itu, kalian semua seharusnya memperhatikan diri kalian sendiri. Mengapa kita dilahirkan? Apakah kita benar-benar sudah mencapai sesuatu dalam hidup ini? Di pedesaan di sini, orang-orang mulai menanam padi sejak masih kanak-kanak. Ketika mereka mencapai usia tujuh belas atau delapan belas, mereka cepat - cepat menikah, khawatir kalau-kalau mereka tidak memiliki cukup waktu untuk memperbaiki nasib mereka. Mereka mulai bekerja sejak usia muda, mengira mereka akan menjadi kaya dengan cara itu. Mereka menanam padi sampai mereka berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Saya tanya mereka, ?Sejak dari lahir, anda sudah bekerja. Sekarang, waktunya hampir tiba untuk pergi, apa yang akan anda bawa pergi bersama anda??
Mereka tidak tahu apa yang harus diucapkan. Satu-satunya yang bisa mereka katakan adalah, ?Pukullah saya!? Kita mempunyai sebuah peribahasa untuk yang satu ini, ?Jangan menunggu sambil memunguti biji berry sepanjang jalan? sebelum anda menyadarinya, malam telah tiba.? Hanya karena ini ?Pukullah saya!? Mereka tidak di sini ataupun di sana, puas hanya dengan sebuah ?pukullah saya? ? duduk di antara cabang-cabang dari pohon berry, sambil menelan biji berry? ?Pukullah saya, pukullah saya??

Ketika kalian masih muda, kalian berpikir bahwa menjadi seorang single tidaklah begitu bagus, kalian merasa agak kesepian. Jadi kalian mencari pasangan untuk hidup bersama. Bersama-sama berdua dan selanjutnya, timbullah perselisihan! Hidup sendiri terlalu sepi, tapi tinggal dengan yang lain menyebabkan perselisihan.

Ketika anak-anak masih kecil, para orang tua berpikir, ?Ketika mereka sudah lebih besar, kita akan lebih baik dari sekarang.? Mereka membesarkan anak-anak mereka, tiga, empat, atau lima orang, sambil berpikir bahwa bila anak-anak sudah besar, beban mereka akan menjadi lebih ringan. Tetapi ketika anak-anak tumbuh besar, mereka malah semakin memberatkan. Seperti dua potong kayu, satu besar dan satu lagi kecil. Kalian membuang yang kecil dan mengambil yang lebih besar, mengira yang satu ini lebih ringan, tapi tentu saja tidak. Ketika anak-anak masih kecil, mereka tidak banyak mengganggu kalian, hanya semangkuk nasi dan pisang pada saat itu. Ketika mereka tumbuh besar, mereka menginginkan sepeda motor atau mobil! Begitulah, kalian menyayangi anak-anak kalian, kalian tak bisa menolak. Jadi kalian mencoba memberikan apa yang mereka inginkan. Masalah? Kadang-kadang para orangtua sampai berdebat tentang hal ini? Jangan pergi dan membelikannya mobil, kita belum punya uang yang cukup! Tetapi ketika kalian menyayangi anak-anak kalian, kalian terpaksa meminjam uang dari suatu tempat. Atau barangkali si orangtua bahkan harus pergi dengan tangan kosong untuk mendapatkan apa yang diinginkan anak-anak mereka.
Lalu ada lagi yang namanya pendidikan. Ketika mereka sudah menyelesaikan pendidikan mereka, kita akan baik-baik saja. Tak akan ada akhirnya dalam menuntut ilmu! Apa yang akan mereka selesaikan? Hanya di dalam ilmu pengetahuan dari agama Buddha saja terdapat titik penyelesaian, ilmu-ilmu pengetahuan yang lain hanya berputar-putar dalam lingkaran. Pada akhirnya, benar-benar sakit kepala. Jika ada sebuah rumah dengan empat atau lima anak di dalamnya, orangtua akan bertengkar terus setiap hari.

Penderitaan yang sedang menunggu di masa depan, kita gagal melihatnya, kita mengira ia tidak akan pernah terjadi. Ketika ia terjadi, baru kita menyadarinya. Penderitaan jenis ini, penderitaan yang tak terpisahkan di dalam tubuh kita, sangat sulit untuk diantisipasi. Ketika saya masih seorang anak kecil penggembala kerbau, saya akan mengambil kapur dan menggosokkannya ke gigi saya untuk membuatnya menjadi putih. Saya akan pulang ke rumah dan berkaca dan melihat mereka sungguh indah dan putih? Saya sedang ditipu oleh gigi-gigi saya sendiri, itu saja. Ketika saya mencapai usia lima puluh atau enam puluh, gigi-gigi saya mulai rontok. Ketika gigi mulai lepas, ia sangat menyakitkan, ketika kalian makan, rasanya seperti ditendang di mulut.
Ia benar-benar menyakitkan. Saya sudah pernah mengalaminya sekali. Jadi saya meminta dokter gigi untuk mencabut semuanya. Kini, saya memakai gigi palsu. Gigi asli saya begitu merepotkan sehingga saya harus mencabut semuanya, enam belas buah sekaligus. Si dokter gigi tersebut enggan mencabut ke enam belas gigi sekaligus, tapi saya bilang kepadanya, ?Cabut saja semuanya, saya yang akan menanggung akibatnya.? Jadi dia pun mencabut semuanya sekaligus. Beberapa buah ada yang masih bagus, paling tidak ada lima. Cabut semuanya. Tapi keadaannya cukup kritis. Setelah mencabut semuanya, saya tidak dapat makan apapun selama dua atau tiga hari.

Sebelumnya, sebagai seorang anak kecil penggembala kerbau, saya biasanya berpikir bahwa menggosok-gosok gigi sampai kilat adalah tindakan yang bagus. Saya menyayangi gigi saya, saya berpikir mereka adalah benda - benda yang bagus. Tapi pada akhirnya mereka harus pergi. Sakitnya hampir membunuh saya. Saya menderita sakit gigi selama berbulan-bulan, bertahun-tahun. Kadang-kadang gusi saya juga bengkak.

Beberapa dari kalian mungkin memiliki kesempatan untuk mengalami sendiri hal ini suatu hari nanti. Kalau gigi kalian masih bagus dan kalian menggosoknya setiap hari untuk membuatnya tetap indah dan putih? berhati-hatilah! Mereka akan mulai bermain-main dengan kalian selanjutnya.

Sekarang, saya hanya memberitahukan kalian tentang hal-hal ini?
penderitaan yang timbul dari dalam, yang muncul dari dalam tubuh kita sendiri. Tidak ada apa pun dalam tubuh yang bisa kalian jadikan pegangan. Dia tidak begitu buruk ketika kalian masih muda, tapi ketika kalian mulai beranjak tua, semuanya mulai rusak. Semuanya mulai tercerai berai. Kondisi ini berjalan sesuai sifat alamiah mereka. Apakah kita menertawai ataupun menangisi mereka, mereka tetap akan melalui jalan mereka. Tak ada perbedaan bagaimana cara kita hidup atau mati, tidak ada bedanya bagi mereka. Dan tidak ada ilmu pengetahuan ataupun sains yang mampu mencegah jalur alamiah dari semua benda ini.
Kalian mungkin menemui dokter gigi untuk merawat gigi kalian, tapi bahkan jikalau dia mampu mengobatinya, mereka selanjutnya akan tetap pergi menurut jalur alamiah mereka. Selanjutnya bahkan si dokter gigi sendiri akan mendapatkan masalah yang sama. Semuanya akan hancur tercerai berai.

Inilah hal-hal yang seharusnya kita renungkan selagi kita masih mempunyai tenaga, kita seharusnya berlatih selagi kita masih muda. Jika kalian ingin melakukan kebajikan, maka lakukanlah segera, jangan tunggu sampai tua. Kebanyakan orang hanya menunggu sampai mereka tua sebelum akhirnya mereka pergi ke vihara dan mencoba mempraktekkan Dhamma. Wanita dan pria mengatakan hal yang sama? ?Tunggu sampai saya tua dulu.? Saya tidak tahu mengapa mereka berkata seperti itu, apakah orang yang tua memiliki tenaga yang lebih besar? Biarkan mereka mencoba berlomba lari dengan orang yang muda dan lihatlah perbedaannya. Mengapa mereka membiarkannya sampai mereka tua?
Seolah-olah mereka tidak akan pernah mati. Ketika mereka mencapai usia lima puluh atau enam puluh tahun atau lebih? ?Hai, Nenek! Mari kita pergi ke vihara!? ?Kamu saja yang pergi, telinga saya tidak begitu bagus lagi.? Kalian lihat apa yang saya maksud? Ketika telinganya masih bagus apa yang dia dengarkan? ?Pukullah saya!?? hanya tergila-gila dengan biji berry. Pada akhirnya ketika pendengarannya menghilang, dia baru pergi ke vihara. Sungguh tidak ada harapan. Dia mendengarkan khotbah tapi dia tidak memahami apa yang bibicarakan. Orang-orang menunggu sampai mereka tidak berguna lagi sebelum akhirnya mereka berpikir untuk mempraktekkan Dhamma.

Pembicaraan hari ini mungkin berguna bagi anda-anda yang bisa memahaminya. Ini adalah hal-hal yang seharusnya mulai kalian perhatikan, mereka adalah warisan kita. Mereka akan setahap demi setahap semakin berat dan semakin berat, sebuah beban yang harus kita tanggung. Di masa lalu kaki-kaki saya begitu kuat, saya dapat berlari. Kini, hanya berjalan berkeliling saja sudah terasa berat. Sebelumnya, kaki-kaki ini menopang saya. Sekarang, saya lah yang harus membawa mereka. Ketika saya masih seorang anak kecil, saya melihat orang-orang tua bangkit dari tempat duduk mereka? ?Oh!? Bangkit dari duduk, mereka mengerang, ?Oh!? Selalu saja ada ini ?Oh!? Tetapi mereka tidak mengetahui apa yang menyebabkan mereka mengerang seperti itu.

Bahkan ketika sudah sampai pada tahapan ini, orang-orang tidak juga melihat racun dari tubuh ini. Kalian tidak pernah tahu kapan kalian akan berpisah darinya. Apa yang menyebabkan semua rasa sakit ini hanyalah suatu kondisi yang berjalan sesuai jalur alamiahnya. Orang menyebutnya arthritis, rematik, penyakit tulang dan seterusnya, dokter memberikan resep obat, tapi itu tidak pernah menyembuhkannya secara total. Pada akhirnya, ia akan tercerai berai, bahkan si dokter sendiri! Ini adalah kondisi yang berjalan sesuai dengan jalur alamiahnya. Ini adalah jalan mereka, sifat alamiah mereka.

Sekarang, coba lihatlah ini. Jika kalian memperhatikannya sedari awal, akan lebih baik bagi kalian, seperti melihat seekor ular berbisa di jalan yang akan kalian lalui. Jika kalian melihatnya di sana, kalian bisa menghindarinya dan tidak terkena gigitannya. Jika kalian tidak melihatnya, kalian akan terus berjalan dan menginjaknya. Dan kemudian ia akan menggigit.

Jika penderitaan muncul, orang tidak tahu apa yang akan dilakukan. Ke mana untuk mengobatinya? Mereka ingin menghindari penderitaan, mereka ingin bebas darinya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mengobatinya ketika ia muncul. Dan mereka terus-menerus hidup seperti ini sampai mereka tua? dan sakit? dan mati?.


Di zaman dahulu, dikatakan bahwa jika seseorang sudah hampir mati karena penyakit parah, orang yang berada di dekatnya seharusnya membisikkan ?Bud-dho, Bud-dho? di telinga mereka. Apa yang akan mereka lakukan dengan Buddho? Kebaikan apa dari Buddho bagi mereka yang sudah hampir berada di atas kayu pembakaran jenazah? Mengapa mereka tidak mempelajari Buddho selagi mereka muda dan sehat? Kini, dengan nafas yang tidak teratur, kalian ke atas dan berkata, ?Ibu? Buddho, Buddho!? Mengapa membuang-buang waktu kalian? Kalian hanya akan membingungkan ibu kalian, biarkanlah dia pergi dengan damai.

Orang-orang tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah-masalah di dalam batin mereka, mereka tidak memiliki tempat berlindung. Mereka mudah marah dan memiliki banyak sekali nafsu keinginan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak memiliki tempat berlindung.

Ketika orang baru saja menikah, mereka dapat hidup bersama-sama dengan baik, tetapi setelah berusia lima puluh tahun atau lebih, mereka tidak dapat lagi mengerti satu sama lain. Apapun yang dikatakan istri, sang suami menganggapnya tidak dapat ditolerir. Apapun yang dikatakan suami, sang istri tidak akan mau mendengarkannya. Mereka saling mengabaikan.

Sekarang, saya hanya bisa berbicara karena saya tidak pernah berkeluarga sebelumnya. Mengapa saya tidak pernah berkeluarga? Hanya memperhatikan kata ini ?rumah tangga/household? (note: Ada sebuah permainan kata-kata dalam bahasa Thai di sini yang berdasarkan pada kata yang artinya keluarga ? krorp krua ? yang secara harfiah berarti ?bingkai dapur? atau ?lingkaran penggorengan.? Dalam terjemahan bahasa Inggris, kami memutuskan untuk mengambil kata Inggris yang cocok, daripada mencoba menerjemahkan secara harfiah dari bahasa Thai). Saya memahami apa itu sesungguhnya. Apa yang dimaksud ?rumah tangga/household? itu? Ini adalah sebuah ?hold / pegang / tahan?: jika seseorang mengambil tali dan mengikat kita ketika kita sedang duduk di sini, bagaimanakah rasanya? Itu disebut ?dipegang/ditahan.? Bagaimana pun rasanya, dipegang / ditahan? adalah seperti itu. Ada sebuah lingkaran pembatas. Yang pria hidup di dalam lingkaran pembatasnya sendiri, dan yang wanita juga hidup di dalam lingkaran pembatasnya sendiri pula.

Ketika saya membaca kata ini ?rumah tangga/household?? ini adalah sesuatu yang berat. Kata ini bukanlah hal yang sepele, ia benar-benar seorang pembunuh. Kata ?hold/pegang? adalah suatu lambang dari penderitaan. Kalian tidak dapat ke mana-mana, kalian harus tinggal di dalam lingkaran pembatas.

Sekarang, kita tiba pada kata ?house/rumah.? Ini artinya ?sesuatu yang mengganggu.? Pernahkah kalian memasak cabai? Seisi rumah tercekik dan bersin-bersin. Kata ini ?rumah tangga/household? Menimbulkan kebingungan, ia sungguh tidak layak untuk itu. Oleh karena kata inilah, saya bisa ditahbiskan dan tidak melepaskan jubah. ?Rumah tangga/household? sungguh menakutkan. Kalian terhenti dan tidak dapat ke mana-mana. Masalah dengan anak-anak, dengan uang dan semua yang lain. Tetapi ke mana kalian bisa pergi? Kalian sudah terikat. Ada anak laki-laki dan perempuan, perdebatan-perdebatan yang berlebihan sampai pada hari kematian kalian, dan tidak ada tempat lain untuk pergi, tidak peduli betapa beratnya penderitaan. Air mata menetes dan terus menetes. Air mata ini tidak akan pernah berhenti menetes dengan ?rumah tangga? ini, kalian tahu. Jika tidak ada rumah tangga, kalian mungkin dapat menghentikan tetesan air mata ini, namun tidak sebaliknya.

Pertimbangkanlah hal ini. Jika kalian belum menemukannya, kalian bisa melakukannya di kemudian hari. Beberapa orang sudah mengalaminya sampai pada tingkatan tertentu. Beberapa di antaranya sudah kehilangan akalnya? ?Akankah saya menetap atau pergi?? Di Wat Pah Pong, terdapat sekitar tujuh puluh atau delapan puluh gubuk (kuti). Ketika gubuk-gubuk itu hampir penuh, saya meminta seorang bhikkhu yang mengurusnya untuk membiarkan beberapa gubuk tetap kosong, jikalau ada seseorang berdebat dengan pasangannya? Dan tentu saja, dalam waktu yang tidak lama seorang wanita akan tiba dengan tas-tasnya? ?Saya sudah muak dengan dunia ini, Luang Por.? ?Whoa! Jangan katakan itu. Kata-kata itu sungguh berat.? Lalu, sang suami datang dan berkata bahwa dia juga sudah muak. Setelah dua atau tiga hari di vihara, kejemuan mereka akan dunia akan segera lenyap.

Mereka bilang mereka muak, tetapi mereka hanya menipu diri sendiri. Ketika mereka masuk ke dalam kuti dan duduk sendirian dengan tenang, setelah beberapa saat pikiran-pikiran akan muncul? ?Kapan ya istriku akan datang dan mengajakku untuk pulang ke rumah?? Mereka tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apa yang disebut ?mereka jemu akan dunia? ini? Mereka merasa sedih akan sesuatu dan berlarian datang ke vihara. Di rumah segalanya kelihatan salah? sang suami salah, sang istri juga salah? setelah berpikir dengan tenang selama tiga hari? ?Hmmm, istriku memang benar, ternyata diriku lah yang bersalah.? ?Suamiku benar, saya tidak seharusnya begitu bersedih hati.? Mereka bertukar tempat. Beginilah ceritanya, itulah sebabnya mengapa saya tidak menanggapi dunia ini terlalu serius. Saya sudah tahu kelebihan dan kekurangannya, itulah mengapa saya memilih hidup menjadi seorang bhikkhu.

Saya ingin mempersembahkan pembicaraan hari ini kepada kalian semua untuk dijadikan pekerjaan rumah. Apakah kalian berada di sawah atau bekerja di kota, ambillah kata-kata ini dan pertimbangkanlah. Mengapa saya dilahirkan? Apa yang bisa saya bawa bersama saya?. Tanyakan diri kalian berulang-ulang. Jika kalian menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini pada diri sendiri, seringkali kalian akan menjadi bijaksana. Jika kalian tidak merenungkan hal-hal ini, kalian akan tetap bodoh. Mendengarkan pembicaraan hari ini, kalian akan bisa mendapatkan beberapa pemahaman, jika bukan sekarang, mungkin pada saat kalian tiba di rumah. Barangkali sore ini. Ketika kalian sedang mendengarkan pembicaraan ini, segala sesuatunya pun ditaklukkan, tapi mungkin ada yang sedang menunggu kalian di dalam mobil. Ketika kalian masuk ke mobil, ia bisa saja ikut masuk dengan kalian. Ketika kalian tiba di rumah, ia akan menjadi jelas?. Oh, itulah yang Luang Por maksudkan. Saya tidak mampu memahaminya sebelumnya.?

Saya rasa cukup sekian untuk hari ini. Jika saya berbicara terlalu lama, tubuh yang tua ini menjadi lelah.

--end--

Catatan: Ceramah ini ditujukan kepada umat awam yang berkunjung ke Wat Tham Saeng Phet (Vihara Gua Cahaya Intan), pada Masa Vassa tahun 1981, sesaat sebelum kesehatan Ajahn Chah memburuk.

Sumber: The Teachings Of Ajahn Chah, Sub judul: Living Dhamma , Why Are We Here ?
Oleh: Ven. Ajahn Chah, Diterjemahkan oleh: NN

Jumat, 12 Februari 2010

Otak Manusia Siapa yang Paling Bahagia di Dunia?


Adakah orang yang paling bahagia di dunia di tengah tumpukan masalah hidup yang melilit? Ternyata peneliti menemukan otak manusia paling langka yang berisi gelombang gamma, yakni gelombang yang diduga sebagai penentu kebahagiaan seseorang.

Gelombang gamma sangat jarang ditemukan pada manusia. Tapi otak seorang biksu berkebangsaan Perancis yang tinggal di daratan Himalaya diketahui penuh dengan gelombang gamma. Hal itu membuatnya dijuluki manusia paling bahagia di dunia.

Biksu tersebut bernama Matthieu Ricard. Menurut Ricard, kunci kebahagiaan terletak pada kekuatan mental. Sebagai penganut ajaran dan teori agama Budha, ia percaya bahwa kebahagiaan akan diperoleh jika fokus pada kekuatan diri sendiri. Teknik meditasi dan sikap mementingkan kepentingan orang lain adalah kuncinya.

Ricard menyebutkan ada tujuh aspek yang mempengaruhi kebahagiaan dalam hidup seseorang, diantaranya keluarga, pekerjaan, kesehatan dan sikap mental. Semua aspek itu tergabung dan terperangkap dalam pikiran. Untuk itu, apapun yang terjadi dalam hidup, semuanya harus dikembalikan pada pikiran yang tenang.

"Jika seseorang bisa menenangkan pikiran, masalah apapun yang ada dalam hidup akan terasa baik-baik saja," kata Ricard seperti dikutip dariTimesonline, Selasa (9/2/2010). Demi menghasilkan pikiran yang fokus dan tenang, Ricard sengaja untuk tidak menikah, tidak mempunyai anak atau berkarir.

Teori memfokuskan dan menenangkan pikiran yang diterapkan Ricard ternyata diakui oleh para pakar otak. Berdasarkan hasil scan otak yang dilakukan peneliti dari University of Wisconsin terhadap Ricard, diketahui bahwa bagian abu-abu pada otaknya menghasilkan gelombang gamma.

Gelombang gamma adalah gelombang yang menentukan tingkat kesadaran, ingatan, pembelajaran dan lainnya. Dalam sejarah dan literatur neuroscience, gelombang gamma belum pernah ditemukan sebelumnya pada otak manusia. Gelombang gamma inilah yang mempengaruhi tingkat ketenangan dan kebahagiaan seseorang.

Peneliti tidak hanya memeriksa otak Ricard, tapi juga faktor lainnya seperti gerakan otot muka, kemampuan mempertahankan ketenangan dan sebagainya. Semua faktor itu jika digabungkan akan menghasilkan kesehatan otak yang optimal.


Meski Ricard diduga sebagai manusia paling bahagia di dunia, ia tidak pernah mengajak apalagi memaksa orang lain untuk masuk dan menganut agamanya. Pakar saraf dan otak pun hanya menyarankan agar orang-orang mengikuti teknik yang diterapkan Ricard jika ingin hidup tentram dan bahagia.

Beberapa teknik yang dianjurkan Ricard diantaranya yaitu meditasi, mendahulukan kepentingan orang lain dan melatih pikiran bawah sadar.

Tak jauh berbeda dengan Ricard, seorang pengarang buku 'Happiness: Lessons from a New Science', Lord Layard pun mengatakan bahwa rumus bahagia adalah bersosialisasi, membuat koneksi, bergerak secara aktif, terus belajar dan biasakan memberi sesuatu untuk orang lain.

Menurut Layard yang juga merupakan pakar ekonomi Inggris, pemerintah perlu merancang program pembangunan pola hidup yang tepat untuk meningkatkan rasa bahagia.

"Kebanyakan dana dialokasikan pemerintah untuk mengurangi kemisikinan atau penyakit. Seharusnya pemerintah juga perlu mengalokasikan dana lebih untuk pelayanan kesehatan mental, dukungan orangtua dan edukasi yang positif," kata Layard.

(fah/ir)


sumber artikel:http://health.detik.com/read/2010/02/09/160046/1296057/766/otak-manusia-siapa-yang-paling-bahagia-di-dunia

:::Silahkan juga baca: tentang Gelombang Otak, di link http://www.kaskus.us/showthread.php?p=63235029


Gelombang Otak dan Kondisi Alpha

Oleh: Prima Joy, praktisi Falun Dafa

Selama ini para ilmuwan mengatagorikan gelombang otak manusia ke dalam 4 bagian kondisi yakni: Beta (keadaan beraktivitas normal), Alpha (keadaan tidur ayam), Theta (keadaan tidur tapi belum terlalu pulas), dan Delta (keadaan tidur pulas atau koma). Masing-masing memiliki kapasitas yang berbeda. Kapasitas gelombang Beta 14–20 cps (cycle per second), Alpha adalah 7–14 cps, Theta adalah 4–7 cps, dan Delta adalah 1–3 cps.

Diyakini, apabila kita mampu mempertahankan gelombang otak lebih rendah dari Beta dalam jangka waktu yang agak lama dan kita masih dalam keadaan sadar, maka manfaatnya akan sangat besar sekali bagi diri kita yakni akan jauh lebih mampu untuk berpikir dan berproduktivitas lebih baik. Oleh karena itu dalam bidang sains, muncullah berbagai teknik atau peralatan yang dirancang untuk menurunkan gelombang otak secara disengaja.

Penulis memiliki pengalaman mengukur gelombang otak (EEG) melalui seorang teman yang mempunyai alat untuk melihatnya. Dulu ketika saya diukur, langsung jarum alat tersebut menunjukkan gelombang otak di atas 20 cps (alias stress berat). Lalu setelah menggunakan teknik meditasi dinamis, gelombang otak mulai menurun sampai akhirnya menuju Alpha atau Theta.

Tetapi bisa dibilang, selama proses menuju Alpha atau Theta, saya pasti dalam keadaan tertidur (tidur ayam). Kesadaran tidak penuh. Dan setiap saya datang ke rumah teman saya untuk diukur, pasti jarum alat tersebut mentok lagi (alias masih stress berat). Setelah melakukan meditasi, kemudian baru turun. Jadi teknik yang diajarkan tidak pernah bisa membuat gelombang otak saya permanen pada kondisi Alpha dengan kesadaran penuh. Keadaan ini saya alami pada tahun 2004.

Setelah saya berlatih meditasi lain yang berkultivasi ganda pada watak dan raga pada Juli 2005, saya bermain ke rumah teman saya yang memiliki alat pengukur gelombang otak. Waktu itu saya baru sekitar 1,5 bulan berlatih dan berkultivasi, namun sudah mulai merasakan adanya medan energi di dalam kepala (pikiran) saya, walaupun tidak terlalu kuat. Anehnya, begitu alat tersebut ditempelkan ke tubuh saya, jarum langsung menunjukkan pada posisi 10 cps (alias dalam keadaan Alpha).
Hal ini membuat saya surprise!

Ketika kedua kalinya saya datang lagi dan diukur kembali, jarum alat tersebut
langsung menunjukkan pada posisi 10 cps lagi (tetap Alpha). Dengan demikian hal ini menunjukkan: bahwa saya tetap terus menerus berada dalam keadaan gelombang Alpha dengan kesadaran penuh. Bayangkan hanya dalam waktu 1,5 bulan saja berlatih, kondisi Alpha yang selalu diuber-uber oleh para ilmuwan selama bertahun-tahun, bisa didapatkan melalui latihan meditasi ini dalam waktu singkat.

Memang tidak mungkin seseorang akan selalu berada pada permanen Alpha, malah bisa berisiko karena melambatnya respons dan refleks. Justru kondisi Beta sangat diperlukan apabila kita beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan ini memerlukan kesadaran yang tinggi untuk tetap waspada dan sadar terhadap lingkungan sekitar.Tetapi pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa rupanya setelah berlatih meditasi ini, saya mampu tetap berada pada permanen Alpha tetapi sekaligus mampu beraktivitas dalam kehidupan normal.


Memainkan Gelombang Suara
Selama ini kalangan tertentu mempercayai bahwa gelombang Alpha adalah keadaan di mana kita merasakan rileks atau bebas stress, gelombang Theta adalah area berpikir untuk problem solving dan kaya dengan ide-ide segar, sedangkan gelombang Delta adalah keadaan di mana kita dapat berhubungan dengan dunia luar (dimensi lain) yang lebih tinggi.

Berkaitan dengan itu, saya punya empat jenis CD Binaural Beats yaitu suatu metode dengan memainkan gelombang suara di telinga kanan dan kiri, yang kalau didengarkan dalam waktu agak lama, dipercaya akan membawa gelombang otak kita menuju Alpha, Theta, dan Delta. Waktu itu, ada satu CD yang paling saya sukai, yang mampu secara pasti membawa otak kita pada gelombang Delta karena menggunakan teknologi Harmonically Layered Frequencies. Syaratnya CD itu harus didengarkan selama 24 menit, barulah tercapai kondisi Delta yang mendalam.
Teknologi ini saya nilai jauh lebih baik dibandingkan teknologi Binaural Beats biasa.

Setiap malam menjelang tidur saya selalu mendengarkannya. Dan setelah selesai, saya merasakan otak begitu “dalam”, terasa nikmat sekali. Dan saya percaya berada dalam kondisi Delta sesuai promosinya. Walaupun tidak punya alat untuk mendeteksi gelombang otak, tetapi memang sangat berbeda sensasi yang saya rasakan dibandingkan berada dalam gelombang Alpha.

Secara sains, dipercaya, apabila kita bisa berada pada gelombang Delta, maka dari otak akan diproduksi hormon endorphin. Hormon ini sangat sulit dihasilkan, kecuali kita berada kondisi rileks yang amat dalam. Dan hormon ini sangat berguna untuk kesehatan, menguatkan sistem imunitas tubuh dan terbebas dari stres (karena sifatnya seperti morfin).

Tetapi kondisi ini tidak lama. Keesokan harinya saya bangun, beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari, kembali stres dengan pekerjaan. Malamnya saya menggunakan CD ini lagi untuk “cooling down”. Dengan kata lain, saya jadi “kecanduan”. Sebetulnya CD ini menurut saya tidak buruk, hanya akhirnya kita menjadi “bergantung”, karena “keenakan”.

Karena sering menggunakan CD ini, saya menjadi hafal bagaimana rasanya apabila otak dalam keadaan gelombang Delta. Saya hafal sekali. Tetapi sudah lama saya tidak menggunakannya lagi. Setelah saya berlatih Falun Gong (Falun Dafa) yang berkultivasi ganda pada watak dan raga selama 6 bulan, serta merasakan medan energi semakin lama semakin kuat, lama-lama saya menjadi teringat …Bukankah sensasi ini sama persis dengan keadaan otak dalam kondisi gelombang Delta…. Ya, benar sekali. Sensasinya sama persis. Saya baru menyadarinya!

Dan saya juga baru sadar, lho bukankah ini berarti walaupun saya beraktivitas setiap harinya, tetapi terus menerus dalam kondisi Delta? Berarti bisa dikatakan saya secara permanen bisa mencapai kondisi gelombang Delta. Sungguh luar biasa! Baru kemudian saya tersadar lagi, kalau begitu, bukankah ini berarti saya selalu terhubung dengan alam (dimensi) lain setiap saat? “Wah, saya semakin kagum pada latihan senam meditasi dari Tiongkok ini.” Di sinilah akhirnya bisa dimengerti, bahwa orang yang berlatih meditasi ini jika memancarkan Pikiran Lurus, maka efeknya akan sangat dahsyat mempengaruhi ruang dimensi lain.


::dikutip dari: http://health.groups.yahoo.com/group/innerpeace_nusantara/message/336
diposting oleh: Mubarok Agung Prasojo